Review Analisis Cerpen Clara Attawa Wanita yang Diperkosa (Lengkap Ektrinsik, Intrinsik dan Teori Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)


CLARA atawa Wanita yang Diperkosa
oleh Seno Gumira Ajidarma
------------------------------------------------------------

Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada kata- kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.
Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri. Beban penderitaan macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata?
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan.
***
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,” kata Mama lagi.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa marah-marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri. Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar banyak kerusuhan belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus terang saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam urusan bisnis. Koran cuma saya baca judul-judulnya. Itu pun maknanya tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya yakin pasti bukan mahasiswa yang membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan, dan mobil-mobil yang lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada urusan membakar-bakari rumah orang kalau tidak ada yang sengaja membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-guling. Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang menggesek aspal semen itu tetap mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! Yang sering dianggap sebagai petanda betapa para pemilik mobil sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
”Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang tinggi. Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash. Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
***
Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku. Aku harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung percaya, aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan, sibuk menjebak, memancing, dan membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku bukan subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. Ternyata susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot, kalau kamu tidak bilang, apa yang harus saya tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula. Saya melihat lampu HP saya berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina. Sedangkan pacar saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk mencium bibir saya. Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu … rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan. Bibirnya menganga. Memang pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita ini tidak menarik. Pastilah dia seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.
”Saya mau pulang,” ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang menggantung di bahu. Kain itu panjangnya tanggung, kakinya yang begitu putih dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang jalan kaki seperti itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.

Jakarta, 26 Juni 1998
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Analysis of Clara Attawa Wanita yang Diperkosa
By Seno  Gumira Ajidarma

A. Intrinsik Element
1. Character and Characterization
a. Clara : helpless,humble, hardwork. 
Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar negeri dan  selalu ada paspor di tas saya.

b.  Her parents: charitable, protection,pessimism.
Saya menerima pesan dari rumah. “Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik- adikku terjebak didalam rumah dan tidak bisa kemana-mana. “ Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tingalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sidney tidak apa- apa. Pokoknya selamat. Disana kan ada Oom dan Tante, kata Mama lagi. 

But, she felt need to go home and met with her family. She didn’t listen the advice of her mother. Finally, the car dismissed and all of the stuff seized by residents. Then, she also raped by them in the middle of highway. Sudenly, there is a short message from her father   

·  “Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong,Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna atau tidak, Rasanya papa ingin mati saja.”


c. Old woman; care about Clara
·   Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk - bungkuk. Dia segera  menutupi tubuh saya dengan kain.
·    “Maafkan anak- anak kami, mereka memang benci dengan Cina”
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.

d. Interviewer; suspicious, compassion
Beban penderitaan macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga                 membuatnya tak mampu berkata-kata?

e.  Indigeneous or Criminal : sadism, cruel,robber
·          Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan.         Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap.

    After, the indigeneous seized all of her stuff, they raped her and they left
    her alone in  the middle of highway.

2. Setting
a.       Setting Time
           At night
           Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam
       Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan     melihat BMW saya sudah terbakar.

b.      Setting Place
          In the highway
    Api sudah berkobar dimana mana ketika BMW saya melaju di jalan tol
Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah
c.               In the office
           ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan         soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini         banyak sekali perkara beginian.
     Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai          ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.

3. Plot
Regressive or flashback plot. I think the short story is arrange on the contrary.
It is often flasback of the story.

4.  Point of View : first person point of view
I think, the short story is often to use first point of view. Clara as a main of actor so she is always appear in this text.
   
5. Atmosphere : threatening, emotive

6. Mood : threatening, terrible, emotive. affraid
The writter explain to the reader with imagination so the reader will be interest and they are fell to read again.
How the writer creates the mood : the diction and structural parapgraph or sentence are interesting for the reader. It is like a real story although it’s imagination story.

7.  Tone : sad moment, emergency

8.  Style : Narrative text

9.  Theme : racism

10.Moral Value:
·         The disturbance will not make peace or quiet in Indonesia goverment so we must harmonious with another people.

·         Don’t believe with another people who had know easily.

B. Extrinsic Element

1.      Background
The writer tells about girl who pity person.Her name is Clara. She has a big family who care about her. This story began when Clara received a short message from her mother. Her mother adviced Clara to immediately go to another country because it happened turbulence in Indonesia. But, Clara ignored a suggestion from her mother. She wanted to go home for pick up her family. When she passed in the highway, there was cruel indigeneous. They seized a lot of stuff and raped her. Then, she was left alone in the middle highway. After that, she received a message from her dad that a lot of her family dead. The short story based on the real story May 12th 1998 namelly reform in Indonesia country. The events should not be tried because a lot of molestation,abuse even murder case that was happened  with another people.


2.      What is the purpose of short story about “Clara Attawa Wanita yang  Diperkosa”?
The purpose of writer created this short story that is community with reality live at  that time. We will know the dark of history’s that didn’t happen again. The short story based on real of event on mei 12th 1998 namelly reform in indonesia country. The events should not be try because a lot of molestation,abuse even murder case was happen  with another people.

3.      Summary
This story began when Clara Attawa will came back at home. But suddenly, she was called by her mother that she didnt allow to come back at home. Her mother is very affraid with her lovely daughter. There  is turmoil conducted by the indigeneous in the village of them. Most of chinese people had killed by them with cruelty. The indigeneous considered that chinese people should be elliminated in Indonesia Goverment. They are think that the china of society influence economic development which have power of against in Indonesia. However, she does not ignore about her mother suggestion. She’s want still go home. In the middle of highway, she was seized by robber. Beside to, she was raped on the roadside. Once aware of unconsciousness, she saw her handphone ringing. Her father sent a message that her family had died. She is becoming sad increasingly.  Fortunately, there was the old woman take care about her. Then, the old woman  accompany her to go to police office for report incident Then, she told  with the interviewer with her sadness 

4.      Theory
According to psychology of approach, literary is a work which can describe about humans of life like a strength, weakness or chaos about them. The behavior can be looked and describe of them  in their daily life. We can see it through a literary work’s. The theory of psychology had developed by Sigmun Freud. It was called as a “psychoanalysis”. According to Freud research, human have id, ego, super ego in themselves. Generally, it has relation with three of aspect divided into, the writer, literary, and the reader with the considerate that it’s more associated with the writer and literary.

I think, this literary of Clara Attawa Wanita yang Diperkosa is very suitable if we are analyzed use to psychology  approach. In this novel adheres psychoanalysis of approach that tell about the inner of conflict in anyone. Clara as a main actor has a characteristic which is hardwork, never give up, patient, charitable with her family.  The disorder made her should separate with her family. Her family was killed by indigent.
The suffering became increase when the treasure was deprived and was raped by the robber. Then, no one care about her. It just the old woman felt pity about her. At that time, she felt that her life had broken.
Based on the text we can find evidence 
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. 
Ternyata susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus bertanya.
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang hanya mewakili bencana.

5.      Cultural value

a.       Racism
It was happen conflict social classes between the chinese ethnic and indigenous. The indigenous felt that china descent be considered the most under class because detrimental for the economy Indonesia at that time. the power of economy have been holding by Chinese people. So it’s make them hate and envy.
Based on the short story we will find  some evidence:
·                 “Cina! Cina!” mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
·         “Belum sempat aku berfikir, kaca depan BMW itu sudah hancur   karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang orang ini kepada Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
·         “Mata lu sipit begitu, ngaku ngaku orang Indonesia”



b.      Feminism
The woman is a person who protect of her dignity  not being harrased like a rubbish or animal. Based on short story Clara told as a woman who misserable and helpless. We will find evidence in the text :
·     “ Diem lu Cina! ” Rok saya sudah lolos.

c.       Psychology
People have the work of remember fast. It is not easy to forget the incident
moment through sad or happy events. We will find evidence in the text :
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang.
·         Di tengah semesta yang begini luas, siapa peduli dengan nasib saya?

d.      Criminals
This short story also tell about crime and the indigenous for Chinese people. They were seize and spoil off the treasure, the they killed their victims
·     "Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya."


e.       Sociology
The power of economies have been holding by Chinese people. It makes them hate and envy. So, the relation between Chinese with indigenous are not well and harmonic. But, it is still a lot of people still help her or maybe she just care about her.
For example
·   “ Seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutup tubuh saya denga kain.
·     “ maafkan anak anak kami” katanya, mereka memang benci Cina

penulis dan editor : mifta sadewi 

Komentar